• Tentang Kami
  • Redaksi dan Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy
SPIRIT OF LINGGA
Advertisement
  • Home
  • Peristiwa
  • Kepulauan Riau
  • Oto & Tekno
  • Ekonomi
  • Politik
  • Saka
No Result
View All Result
  • Home
  • Peristiwa
  • Kepulauan Riau
  • Oto & Tekno
  • Ekonomi
  • Politik
  • Saka
No Result
View All Result
SPIRIT OF LINGGA
No Result
View All Result
Home Kolom

Gerbang Tujuh Likur dan Simbol Kekompakan

Vee by Vee
Juni 1, 2019
in Kolom, Lingga, Opini
506
VIEWS

LINGGASATU.COM — Tujuh Likur merupakan tradisi dan kebiasaan yang hingga kini masih telestarikan secara turun temurun oleh masyarakat Kabupaten Lingga kepulauan Riau. Pemasangan lampu colok yang diawali sejak dari malam 21 Ramadhan dengan ditandai memasang 1 (satu) colok disetiap rumah masyarakat Lingga pada malam hari nya sesuai dengan bilangan hari dan puncaknya pada malam 27 Ramadhan.

Dalam menyambut malam istimewa itu masyarakat Lingga tanpa mengenal status sosial, baik miskin ataupun kaya semuanya berusaha menerangi laman rumah dengan lampu colok dan hal yang paling menyita perhatian dan menjadi pemandangan yang banyak diburu oleh masyarakat, tradisi Tujuh Likur menyajikan pemandangan dengan pemasangan lampu colok yang dipasang menyerupai gerbang. Gerbang Tujuh Likur biasanya banyak didapati di tengah kampung atau pusat keramaian yang sering dilewati oleh warga dengan berbagai reka bentuk dan inovasi serta kreativitas warga setempat yang membangunnya.

Salah satu pintu gerbang tujuh likur yang ada di Kabupaten Lingga

Lalu, apa hubungannya antara gerbang 7 likur dengan simbol kekompakan? Ya, jelas ada hubungannya. Mengapa demikian? karena berdasarkan pengalaman pribadi bahwa sangat sulit untuk mendirikan gerbang 7 (tujuh) likur.

Pertama soal waktu, banyak hari ini orang sibuk bekerja. Karena semakin hari tuntutan pekerjaan semakin berat, kebutuhan hidup semakin meningkat. Apakah rela meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya untuk ikut membangun gerbang colok? sementara kebutuhan hidup dikesampingkan. Karena tahapan mulai pengambilan kayu di hutan sebagai material utama dilakukan gotong royong. Biasanya sebelum puasa.

Salah satu pintu gerbang tujuh likur yang ada di Kabupaten Lingga

Kemudian pengerjaan mulai ngebut di malam 5 Ramadhan hingga waktu paling sibuk adalah H-4 dari malam 7 likur. Tanpa pengorbanan waktu dan keinginan bersama untuk sama-sama berbuat rasanya sulit terbangun pintu gerbang, meskipun ukurannya mini.

Kedua soal tenaga kerja, artinya kalau yang punya semangat dan hajat untuk membuat pintu gerbang 1 – 2 orang dari penduduk kampung dan yang lain hanya duduk diam menyaksikan tanpa aksi nyata, maka dipastikan gagal. Karena kerja sosial dan tanpa bayaran ini butuh kekompakan dan merupakan keinginan bersama.

Ketiga soal biaya, boleh dikatakan saat ini, biaya bukan jadi perkara mustahak. Di Bulan Ramadhan semua orang sangat pemurah dan mudah membagikan rezekinya. Apalagi kalau sumbangan untuk membangun pintu gerbang. Masyarakat sangat antusias, ikhlas dan ridho. Apalagi mereka memberikan sumbangan pada pekerjaan yang jelas hasilnya bisa dilihat bersama keluarga. Ada pepatah “kalau tidak penuh ke atas, paling tidak penuh ke bawah”.

Jadi, keinginan untuk memeriahkan malam 7 (likur) untuk menyambut malam Lailatul Qadar dengan berdirinya gerbang colok perlu kekompakan. Tanpa adanya semangat mengorbankan sedikit kepentingan pribadi, mustahil gerbang colok bisa tegak bersinar terang benderang dan tersaji dengan indah untuk dinikmati oleh mata. Bahkan para perantau yang tak sempat untuk mudik pulang kekampung halaman dikarenakan kesibukan pekerjaan yang tidak mendapatkan banyak cuti, menyempatkan dirinya untuk meminta dikirimkan foto atau gambar gerbang Tujuh Likur ke handphone nya.

Bisa dikatakan jika sebuah perkampungan masyarakat yang di tengah kampungnya berdiri gerbang colok api dapat dipastikan bahwa pemudanya kuat, para tetuanya bersemangat dan anak-anaknya hebat.

Kampung yang berdiri tegak pintu gerbang 7 (likur) adalah sebuah kampung yang menjaga kekompakan dan silaturahim. Ia nya menjadi suatu indikator kekuatan hubungan yang sangat luar biasa di semua lapisan masyarakat. Kecil, muda, tua bersatu padu bersemangat saling mendukung memajukan kampung.

Bagaimana dengan kampung yang tidak membangun pintu gerbang? ya, mungkin pemudanya tidak ramai karena merantau dan baru pulang menjelang Idul Fitri. Bisa juga karena banyak yang sudah tua sehingga tidak bersemangat lagi untuk membuat gerbang 7 (tujuh) likur karena dianggap menghamburkan uang dan tenaga. Wallahualam.


Oleh : Zaid,ST, Pranata Humas Kemenag Kab.Lingga
Editor : Fikri

Vee

Vee

Related Posts

80% Pegawai Milenial, Jasa Raharja Gandeng BRI Gelar Literasi Keuangan: Frugal Living untuk Hidup Sehat, Berdaya, dan Berintegritas
Nasional

80% Pegawai Milenial, Jasa Raharja Gandeng BRI Gelar Literasi Keuangan: Frugal Living untuk Hidup Sehat, Berdaya, dan Berintegritas

Mei 24, 2025
Jasa Raharja dan Pemerintah Provinsi Bali Perkuat Kolaborasi untuk Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Keselamatan Berkendara
Nasional

Jasa Raharja dan Pemerintah Provinsi Bali Perkuat Kolaborasi untuk Meningkatkan Kepatuhan Pajak dan Keselamatan Berkendara

Mei 23, 2025
Headline News

Pimpinan Jowo Manunggal Lingga Apresiasi Perkembangan Reog Di Lingga

Mei 22, 2025

BERITA TRANDING

  • Matematika, Cina Kuno Tertarik Pada Pola Angka

    Matematika, Cina Kuno Tertarik Pada Pola Angka

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Golkar Tancap Gass Di Pilkada Lingga Jagokan Kamarudin Ali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pengalaman Sutan Sunat di Safute Robot (Safubot)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pemkab Lingga Rencana Ubah Wajah Dabo Singkep

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Desa Pekajang Dapat Bantuan Dari PT Cipta Persada Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tentang Kami
  • Redaksi dan Disclaimer
  • Pedoman Media Siber
  • Privacy Policy

Copyright @2023 LINGGASATU.NET All right reserved

No Result
View All Result

Copyright @2023 LINGGASATU.NET All right reserved