LINGGASATU.COM — Tujuh Likur merupakan tradisi dan kebiasaan yang hingga kini masih telestarikan secara turun temurun oleh masyarakat Kabupaten Lingga kepulauan Riau. Pemasangan lampu colok yang diawali sejak dari malam 21 Ramadhan dengan ditandai memasang 1 (satu) colok disetiap rumah masyarakat Lingga pada malam hari nya sesuai dengan bilangan hari dan puncaknya pada malam 27 Ramadhan.
Dalam menyambut malam istimewa itu masyarakat Lingga tanpa mengenal status sosial, baik miskin ataupun kaya semuanya berusaha menerangi laman rumah dengan lampu colok dan hal yang paling menyita perhatian dan menjadi pemandangan yang banyak diburu oleh masyarakat, tradisi Tujuh Likur menyajikan pemandangan dengan pemasangan lampu colok yang dipasang menyerupai gerbang. Gerbang Tujuh Likur biasanya banyak didapati di tengah kampung atau pusat keramaian yang sering dilewati oleh warga dengan berbagai reka bentuk dan inovasi serta kreativitas warga setempat yang membangunnya.
Lalu, apa hubungannya antara gerbang 7 likur dengan simbol kekompakan? Ya, jelas ada hubungannya. Mengapa demikian? karena berdasarkan pengalaman pribadi bahwa sangat sulit untuk mendirikan gerbang 7 (tujuh) likur.
Pertama soal waktu, banyak hari ini orang sibuk bekerja. Karena semakin hari tuntutan pekerjaan semakin berat, kebutuhan hidup semakin meningkat. Apakah rela meninggalkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup hanya untuk ikut membangun gerbang colok? sementara kebutuhan hidup dikesampingkan. Karena tahapan mulai pengambilan kayu di hutan sebagai material utama dilakukan gotong royong. Biasanya sebelum puasa.
Kemudian pengerjaan mulai ngebut di malam 5 Ramadhan hingga waktu paling sibuk adalah H-4 dari malam 7 likur. Tanpa pengorbanan waktu dan keinginan bersama untuk sama-sama berbuat rasanya sulit terbangun pintu gerbang, meskipun ukurannya mini.
Kedua soal tenaga kerja, artinya kalau yang punya semangat dan hajat untuk membuat pintu gerbang 1 – 2 orang dari penduduk kampung dan yang lain hanya duduk diam menyaksikan tanpa aksi nyata, maka dipastikan gagal. Karena kerja sosial dan tanpa bayaran ini butuh kekompakan dan merupakan keinginan bersama.
Ketiga soal biaya, boleh dikatakan saat ini, biaya bukan jadi perkara mustahak. Di Bulan Ramadhan semua orang sangat pemurah dan mudah membagikan rezekinya. Apalagi kalau sumbangan untuk membangun pintu gerbang. Masyarakat sangat antusias, ikhlas dan ridho. Apalagi mereka memberikan sumbangan pada pekerjaan yang jelas hasilnya bisa dilihat bersama keluarga. Ada pepatah “kalau tidak penuh ke atas, paling tidak penuh ke bawah”.
Jadi, keinginan untuk memeriahkan malam 7 (likur) untuk menyambut malam Lailatul Qadar dengan berdirinya gerbang colok perlu kekompakan. Tanpa adanya semangat mengorbankan sedikit kepentingan pribadi, mustahil gerbang colok bisa tegak bersinar terang benderang dan tersaji dengan indah untuk dinikmati oleh mata. Bahkan para perantau yang tak sempat untuk mudik pulang kekampung halaman dikarenakan kesibukan pekerjaan yang tidak mendapatkan banyak cuti, menyempatkan dirinya untuk meminta dikirimkan foto atau gambar gerbang Tujuh Likur ke handphone nya.
Bisa dikatakan jika sebuah perkampungan masyarakat yang di tengah kampungnya berdiri gerbang colok api dapat dipastikan bahwa pemudanya kuat, para tetuanya bersemangat dan anak-anaknya hebat.
Kampung yang berdiri tegak pintu gerbang 7 (likur) adalah sebuah kampung yang menjaga kekompakan dan silaturahim. Ia nya menjadi suatu indikator kekuatan hubungan yang sangat luar biasa di semua lapisan masyarakat. Kecil, muda, tua bersatu padu bersemangat saling mendukung memajukan kampung.
Bagaimana dengan kampung yang tidak membangun pintu gerbang? ya, mungkin pemudanya tidak ramai karena merantau dan baru pulang menjelang Idul Fitri. Bisa juga karena banyak yang sudah tua sehingga tidak bersemangat lagi untuk membuat gerbang 7 (tujuh) likur karena dianggap menghamburkan uang dan tenaga. Wallahualam.
Oleh : Zaid,ST, Pranata Humas Kemenag Kab.Lingga
Editor : Fikri