KUTIPAN.CO – Armenia dan Azerbaijan, merupakan dua negara pecahan Uni Soviet, yang kini sedang menjadi sorotan masyarakat dunia. Perang kedua negara terjadi tiada berhenti yang dimulai puluhan tahun lalu, disaat wilayah itu masih di bawah kekuasaan Bolshevik tahun 1920-an, dan masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia. Perang antara Armenia dengan Azerbaijan kala itu, sudah berlangsung, tetapi masih bisa dikendalikan.
Namun, Semenjak Uni Soviet runtuh perang terbuka dimulai, karena tidak ada kekuatan besar yang dapat menahan perang terbuka tersebut. Konon kabarnya, tahun 1920 wilayah Nagorno-Karabakh pernah diserahkan ke Armenia. Situasi berubah setelah Joseph Stalin, penguasa Uni Soviet menyerahkan kawasan Itu kepada Azerbaijan Soviet Socialist Republic.
Posisi Armenia-Azerbaijan disebut mengakar kuat, karena sebagian besar orang Armenia merupakan mayoritas di Nagorno-Karabakh. Keadaan berubah setelah Uni Soviet mulai hancur, hingga muncul republik yang dinamakam Azerbaijan memisahkan diri yang akhirnya perang pecah. Dari peperangan kedua negara Armenia sebagai pemenang.
Apa yang terjadi ratusan ribu mengungsi dari Karabakh dan 7 wilayah sekitarnya di Azerbaijan di duduki pasukan Armenia, penduduk Karabakh sekarang hampir seluruhnya, adalah orang Armenia. Meski begitu, Nagorno-Karabakh tidak pernah mendapatkan pengakuan kemerdekaannya oleh orang lain, termasuk Armenia sendiri.
Kini setelah masuk tahun 2020 situasi makin panas, setelah pemerintah Armenia ingin menarik wilayah Nagorno-Karabakh ke dalam wilayahnya. Alasannya di wilayah itu, disebutkan adanya beberapa gereja tua peninggalan sejarah bangsa Armenia. Dan menariknya Turki juga menyebut di wilayah yang sama banyak akar sejarah Turki yang masih ada. Dari sinilah, kemudian menjadi alasan Turki ikut campur tangan dalam konflik kedua negara, yaitu mengirimkan tentara bayaran dari Suriah Utara untuk membantu pasukan Armenia.
Tahun 1988, menjelang bubarnya Uni Soviet menjadi awal Armenia melepaskan dari Azerbaijan, yang diawali oleh sejumlah entitas Armenia di wilayah yang disengketakan melalui referendum. Referedum tersebut salah satu pilihan Armenia untuk keluar dari Azerbaijan. Council on Foreign Realitions menjelaskan tahun 1988 badan legislatif Nagorno-Karabakh meloloskan undang-undang untuk bergabung dengan Armenia, meski daerah administratif mereka berada di perbatasan Azerbaijan. Ketegangan makin parah ketika Uni Soviet resmi bubar tahun 1991, Armenia yang sebelumnya daerah otonom pun mendeklarasikan diri kemerdekaan.
Sejak itulah, perang kedua negara pecah dan disebutkan peperangan tersebut menewaskan 300 jiwa, ratusan orang mengungsi. Perang terus berlanjut di tahun 1993 Armenia disebutkan juga mampu merebut kawasan Nagorno-Karabakh 20%. Sampai akhirnya terjadi genjatan senjata yang ditengahi Rusia tahun 1994. Genjatan tidak membuat perang selesai dan ketegangan berhenti, kemudian tahun 2008 terjadi baku tembak antara orang Armenia dengan tentara Arzerbaijan. Perang baku tembak hampir setiap tahun terjadi yang menewaskan puluhan jiwa, termasuk warga sipil
Perbedaan Pandangan Sejarah Jadi Pemicunya
Armenia antara negara Azerbaijan semakin hari makin sulit berakhir dalan dua pekan terakhir ini. Perbedaan pandangan sejarah disebut menjadi pemicu terjadinya pertempuran sengit antara kedua negara yang bersengketa. Sebelum perang dimulai telah terjadi pertemuan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dengan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan di Konfrensi Keamanan Munich, Jerman pada bulan Febuary lalu.
Ketika itu, kedua pemimpin tersebut diminta memberi gambaran sejarah Nagorno-Karabakh. Namun, apa yang terjadi tidak ada kesepakatan dan persamaan sejarah, yang muncul hanya perbedaan pandangan sejarah Nagorno-Karabakh. Ilham Aliyev, Presiden Azerbaijan menyebut,”Untuk berbicara tentang bagaimana menyelesaikan konflik pertama-tama kita perlu kembali dan melihat masalah sejarah, dengan alasan, adalah: kebenaran sejarah bahwa Nagorno-Karabakh bagian dari Azerbaijan.
Pernyataan Ilham Aliyev, Presiden Azerbaijan tidak diterima oleh Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan dengan menyebut,” Saya akan meminta Presiden Aliyev untuk tidak terlalu jauh ke dalam sejarah. Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menegaskan bahwa,” wilayah itu hanya menjadi bagian Azerbaijan, karena keputusan yang diambil pada tahun-tahun awal Uni Soviet.”
Perbedaan pandangan dan prepepsi sejarah antara pemimpin kedua negara meninggalkan duka yang mendalam. Persoalan itu jauh menghalangi solusi yang disebut paling sulit setelah runtuhnya Uni Soviet mengingat kawasan tersebut mendeklarasikan kemerdekaan sepihak mendorong timbulnya pertempuran yang berlangsung sengit dan dramatis.
Peperangan antara kedua negara akan berakhir jika terjadi kesepakatan jangka panjang, tetapi beban sejarah menjadi kendala Armenia dan Azerbaijan mencapai kesepakatan. Tidak ada habisnya kedua negara saling claim, dan tetap bersikeras tidak ada yang mau mengalah, kalau wilayah Nagarno dan Karabakh milik wilayah kedua negara. Orang Azerbaijan menyebut Nagorno-Karabakh menjadi bagian integral dari negara Azerbaijan dan diakui PBB. Lain lagi pendapat orang Armenia, yang menyebut Nagorno-Karabakh tetap menjadi bagian KeKaisaran Rusia awal abad ke-19 hanya berakhir di Azerbaijan Soviet sebagai Oblast Otonomi Nagorno-Karabakh, karena suatu keinginan.
Perang Sengit Armenia-Azerbaijan yang Sulit Berakhir
Puluhan orang dilaporkan meninggal dunia di kawasan Nagorno-Karabakh. Tidak hanya itu, helikopter dilaporkan ditembak jatuh dan tank-tank tak luput dari sasaran tembakan kedua pasukan dua negara pecahan Uni Soviet. Wilayah yang menjadi tempat perang secara internasional diakui sebagai bagian dari Azerbaijan, tetapi dikuasai etnis Armenia sejak perang yang terakhir pada 1994. Kini konflik kedua negara bergejolak hebat, antara pasukan Azerbaijan dengan kelompok separatis dukungan Armenia di Nagorno-Karabakh, yang disebut menelan korban 100 jiwa, termasuk di antaranya, adalah: warga sipil.
Pertempuran itu, disebut mengalami kerugian material, biaya perang, peralatan tempur, seperti: tank hingga pesawat nirawak, yang ditaksir mencapai puluhan juta dollar AS. Melihat keadaan tersebut tidak sedikit dari beberapa negara di berbagai belahan dunia mendesak untuk menghentikan perang. Negara-negara dari Eropa seperti: Jerman, Perancis, dan Belgia meminta Dewan Keamanan PBB bersikap menyelesaikan persoalan tersebut. Sekjen PBB Antonio Guteress menyatakan prihatin atas pecahnya kembali pertempuran di Nagorno-Karabakh.
Ia juga mengutuk keras penggunaan kekuatan militer dalam konflik sampai jatuhnya korban jiwa warga sipil di dekat Karabakh, yang mengakibat warga sipil meninggal dunia. Dari peristiwa inilah menjadi pemicu perseturuan kedua negara terus memuncak. Tidak ada lagi solusi terbaik, kecuali perundingan dan diplomasi. PBB, sebagai organisasi internasional didesak bersikap tegas atas persoalan ini supaya tidak ada lagi korban warga sipil berjatuhan.