Matahari semakin tinggi, jam di tangan Pak Mok sudah menunjukkan pukul 16.15 Wib, hatinya semakin gusar karena rapat penting dan tertutup itu harus segera dimulai, sebab kalau sampai batal bisa berakibat fatal terhadap kestabilitas keamanan dan kenyamanan Bangsa dan Negara.
‘’Kalau rapat sampai gagal semua bisa ambyar.’’ kata Pak Mok dalam hati sambil terus memandang jam tangan warisan dari mertua.
Seketika hati Pak Mok menjadi berbunga ketika semua tim rapat tertutup untuk membahas harga cabe yang semakin meroket tiba, meski sempat terlambat akibat macetnya kendaraan dari arah Jalan Batu Berdaun, Dabo Singkep, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepri, tanpa banyak mukadimah lagi rapat segera di mulai namun lidah Pak Mok menjadi kelu, hatinya mulai tak tenang, perasaanya menjadi gelisah, jantungnya seketika berdetak kencang saat mata Pak Mok melihat piring warna putih yang didalamnya terdapat gorengan pisang, makan favoritnya sejak kecil dulu.
Pak Mok jadi teringat sejarah, pisang goreng yang konon berawal pada tahun 1511 saat Portugis datang ke kawasan Melayu. Orang Portugis senang sarapan dengan pisang yang telah dikupas kulitnya, lalu pisang ini dilumuri tepung dan digoreng. Kemudian makanan ini diadopsi oleh masyarakat melayu, termasuk Indonesia sehingga menjadi populer dengan sebutan pisang goring hingga saat ini.
‘’Rapat sore ini harus di tutup, tidak lagi membahas harga cabe rawit, cabe keriting atau cabe apalah, pembahasan harus di rubah dan lebih focus membahas pisang goreng dengan suasana tertutup dan terus menerapkan physical distancing atau menjaga jarak guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19.’’ kata Pak Mok dalam hati (redaksi)