KUTIPAN.CO – Peristiwa tragedi Karbala, adalah perang antara Husein bin Ali bersama sahabat-sahabatnya melawan pasukan dari Kufah yang dipimpin oleh Umar bin Sa’ad. Tragedi Karbala terjadi tanggal 10 Muharam 61 H/680 M di Karbala, yang bermula dari pengangkatan Hasan bin Ali, yang juga putra Ali bin Abi Thalib, sebagai khalifah melalui pembaiatan, oleh: penduduk Kufah, Hasan bin Ali dibaiat oleh penduduk Kufah sebagai khalifah.
Hal ini terjadi menurut Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya, Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam Pada Zamannya, tahun 1978, beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib meninggal dunua. Ketika itu, terungkap setelah salah seorang sahabatnya bertanya, Apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, Husein bin Ali?.Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak menyuruh dan tidak melarang.”
Pasca pembaiatan Hasan bin Ali justru menolaknya, dengan alasan ancaman dari Muawiyah bin Abu Sufyan di Syam hendak mencaplok dunia Islam bila khalifah jatuh pada Hasan bin Ali. Ia terus didesak penduduk Kufah, sehingga akhirnya menerimanya. Melihat sikap Muawiyah yang demikian itu mendorongnya untuk mengirim surat kepada Muawiyah. Isi surat tersebut mengatakan ingin mengajak Muawiyah bergabung bersama-sama orang-orang telah membaiatnya sebagai khalifah.
Ajakan Hasan bin Ali dijawab sinis oleh Muawiyah dan membalas surat dari Hasan dengan menyebut dirinya lebih pantas sebagai khalifah daripada Hasan. Muawiyah juga menyebut dirinya lebih tua usianya dan berpengalaman. Ia bahkan menyuruh Hasan bin Ali untuk mendukungnya sebagai khalifah. Semenjak itulah, pertikaian antara Hasan dengan Muawiyah dimulai, kemudian Ia mengajak pasukan dari Syam menuju Kufah menggulingkan Hasan.
Mendengar pergerakan pasukan Muawiyah yang berjumlah besar menuju Kufah. Hasan bin Ali, dengan semangatnya tinggi mengumpulkan penduduk Kufah yang terpilih, terlatih bersiap melawan pasukan Muawiyah. Apa yang terjadi justru penduduk Kufah lemah mentalnya, dan hanya sebagian yang bersiap maju ke medan pertempuran. Pasukan Hasan yang dipimpin Ubaidilah bin Abbas ternyata berkhianat dan berbalik mendukung Muawiyah, lebih tragis lagi penduduk Kufah hendak menjatuhkannya dari kekahalifahan di Dinasti Umayyah.
Penolakan Imam Husain As Untuk Berbaiat Dengan Yazid
Di tengah situasi tersebut akhirnya Hasan bin Ali melakukan perdamaian dengan Muawiyah, yang salah satu poin adalah menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah atau dikenal dengan istilah Aamul Jamaah atau bersatu kembali. Namun, apa yang terjadi Pasca Muawiyah meninggal dunia tahun 15 Rajab 60 Hijrah Yazid bin Muawiyah bersikeras dan bertekad menjadi khalifah dengan mengambil baiat dari masyarakat untuk Yazid. Padahal dalam surat perjanjian damai Imam Hasan bin Ali dengan Muawiyah tidak menyebutkan menunjuk siapa pengganti setelah dirinya. Namun, apa yang terjadi Yazid bin Muawiyah justru bersikeras dan tetap bertekad mengambil biat dari beberapa orang pembesar kaum muslimin yang menolak ajakan Muawiyah untuk berbaiat kepada Yazid. pemikiran Ia berbaiat sebagai khalifah, yaitu: Ia menulis surat kepada gubernur Madinah Walid bin Atabah, dan memberi kabar kematian Muawiyah.
Yazid kepada Walid menulis,” Ambillah baiat secara paksa Hasan bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abi Bakar dan Abdullah bim Zubair, serta siapa saja yang menolaknya penggallah lehernya” . Setelah itu, datang lagi surat Yazid yang menekankan,” Tulislah untukku nama orang-orang yang menerima dan menolak, dan kirimlah kepala Hasan bin Ali bersama jawaban surat kepadaku,”. Membaca surat dari Yazid selanjutnya Walid kemudian bermusyawarah dengan Marwah bin Hakam dan mengutus Abdullah bin Amr untuk mengintai Hasan bin Ali, Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abi Bakar dan Abdullah bin Zubair.
Saat itu Imam Hasan ke Darul Imarah di Madinah, Walid sang gubernur Madinah menemui Imam Hasan memberi kabar kematian Muawiyah dan membacakan surat dari Yazid, yang menyebutkan Walid diperintahkan mengambil baiat dari Hasan bin Ali untuk Yazid. Mendengar isi surat dari Yazid selanjutnya Imam Hasan berkata,tidakkah engkau rela aku berbaiat dengan Yazid secara sembunyi:
aku kira tujuanmu adalah supaya aku berbaiat dengan Yazid di depan khalayak.
Mendengar jawaban Imam Hasaan, Walid menjawab ,”Pendapatku juga demikian”. Imam melanjutkan berbicara yang mengatakan,” Kalau begitu, berikan aku waktu sampai besok untuk menyatakan pendapatku. Ketika utusan gubernur Madinah datang sore hari berikutnya ke rumah Imam Hasan menemuinya mengambil jawaban. Imam Hasan menunda lagi dengan mengatakan meminta waktu lagi di malam itu, dan disepakati oleh Walid.
Imam Hasan tidak pernah memberi jawaban satu pun dan memutuskan meninggalkan Madinah daripada menghadiri pembaiatan Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah di Kufah. Ia pergi ke Madinah setelah menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah. Tidak lama kemudian Muawiyah meninggal dunia tahun 60 Hijriyah setelah sebelumnya menobatkan Yazid bin Muawiyah sebagai putra mahkota yang akan meneruskan kepemimpinannya.
Naiknya Yazid bin Muawiyah sebagai khalifah
Sepeninggal Hasan bin Ali dan Muawiyah, sejarah mencatat kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib terus berlanjut. Ketika Yazid bin Muawiyah berkuasa menggantikan ayahnya Muawiyah membenci Husein adiknya Hasan bin Ali. Sikap kebencian Yazid kepada Husein bin Ali disebut menjadi pemicu lain dari perang, atau peristiwa pembantaian Husein dan pengikutnya di Karbala
Dalam catatan Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya,” Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam Pada Zamannya,” tahun 1978, menyebut kebencian Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib setidaknya dilatarbelakangi 3, Pertama: Fanatisme kekabilahan turun temurun, Kedua: Muawiyah mengetahui peperangan antara Quraish dengan Kaum Muslimin mengakibatkan tewas keluarga dan kerabat diujung pedang Ali bin Abi Thalib, Ketiga Muawiyah mengenal tabiat Ali bin Abi Thalib yang keras membela kebenaran dan bertindak tegas terhadap kezaliman.
Sementara itu, Yazid bin Muawiyah naik tahta sebagai penguasa baru berkedudukan di Damaskus. Sejak Yazid menggantikan ayahnya Muawiyah sebagai khalifah Dinasti Muawiyah mulai mengintai keselamatan Husein yang tinggal di Madinah. Yazid dengan cerdiknya menyebar mata-mata mengawasi gerak-gerik Husein bin Ali. Ia merasa tidak nyaman tinggal di Madinah, akhirnya Ia beserta keluarga pergi ke Mekah.
Sejak Yazid berkuasa membuat penduduk Kufah kecewa, dan tetap mengharapkan Husein menjadi khalifah dengan meminta Husein ke Kufah untuk mereka baiat. Kurang lebih 100.000 penduduk Kufah mendukung Husein dibaiat dan menerima kedatangannya. Ia tidak percaya begitu saja dan mengutus Muslim bin Aqil pergi ke Kufah menyelidiki keadaan yang sebenarnya. Tidak lama kemudian Muslimin kembali yang mengatakan penduduk Kufah telah bulat membaiat Husein sebagai khalifah.
Rencana pembaiatan Husein sampai juga didengar oleh Yazid bin Muawiyah. Yazid memang licik dengan cerdiknya menggangkat kepala daerah Kufah baru dari Nu’man ke Ubaidillah bin Ziyad setelah mendengar rencana Husein akan dibaiat penduduk Kufah. Pergantian kepala daerah membuat penduduk Kufah ketakutan, dan Muslimin justru ditangkap dan dibunuh oleh Ubaidillah bin Ziyad
Tragedi Peristiwa Pembantaian di Karbala
Pasca Muslimin bin Aqil meninggal dunia kota Kufah berubah dratis, dan menariknya kematian Muslimin ternyata tidak segera diketahui oleh Husein. Justru keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh Husein berangkat ke Kufah. Ia hanya lewat surat elektronik mengetahui situasi Kufah yang terima dari Muslim. Tidak diketahui secara pasti mengapa berita kematian Nu’man kepala daerah Kufah yang dibunuh Ubaidillah tidak sampai ke Husein. Namun, Husein tetap sikeras bertekad pergi ke Kufah, meski sudah diingatkan para sahabat mulai dari Abdullah bin Abbas hingga keluarganya Abdullah bin Ja’far, Ipar Husein untuk tidak pergi ke Kufah.
Semua nasehat berasal dari sahabat dan keluarganya tidak didengar lagi. Husein tetap nekad pergi ke Kufah bersama rombongan 18 Dzulhijah tahun ke-60 Hijriyah. Sebelum pergi ke Kufah, Ia mengutus Qeis bin Mashar pergi Kufah memastikan keadaan situasi di Kufah. Malang nasib Qeis tertangkap oleh Ubaidillah dan dibunuh. Keadaan Kufah telah banyak berubah tekad Husein memang sudah bulat menuju Kufah.
Kedatangan Husein ke Kufah didengar pula oleh penduduk setempat, tetapi apa yang terjadi ketika Husein beserta rombongan diperbatasan Kufah justru disambut dingin penduduk Kufah kekhawatiran keluarga dan sahabat Husein agar tidak berangkat ke Kufah benar terjadi. Diketahui, penduduk Kufah awalnya berjanji setia pada Husein, tetapi kini berubah pikiran menolaknya. Kedatangan Husein juga telah diketahui oleh Ubaidillah sehingga Husein saat itu yang tiba di Karbala 61 Hijriyah di bawah pengawasan pasukan berkuda Ubaidillah dipimpin oleh Al-Hurr bin Yazid. Tidak hanya diawasi pasukan berkuda, Ubaidillah dengan semangatnya telah menyiapkan 4000 pasukan dipimpin Umar bin Sa’ad untuk menyerang Husein bin Ali.
Peristiwa Pagi Hari Asyura
Saat waktu pagi tiba di hari Asyura Imam Husein bin Ali beserta pengikutnya seperti biasa melaksanakan shalat subuh. Usai shalat subuh Imam Husein membagi pasukannya menjadi 2 pasukan, yaitu pasukan pejalan kaki berjumlah 32 orang dipimpin oleh: Zubair bin Qain , dan pasukan penunggang kuda terdiri 44 orang dipimpin oleh Habib bin Muzhahir, dan panji perang dibawa Abbas As.
Setelah pembentukan pasukan usai mereka membangun perkemahan, kemudian sekitar perkemahan digali dan dipenuhi semak belukar setelah itu dibakar untuk menghalangi musuh dari belakang. Jebakan berupa lubang disekitar perkemahan yang ditumbuki selak belukar dan dibakar disebut mampu memancing pasukan Kufah yang ada dibelakang perkemahan. Awalnya pasukan Syimr bin Dzil Jausyan bersama pasukan penunggang kuda mendekat disekitar perkemahan Imam Husein dengan menabur debu dan Muslim.
Perang akhirnya terjadi antara kubu pasukan Imam Husein yang dipimpin oleh Umar bin Saad dengan pasukan Kufah pimpinan Syimr Din Szil Jausyan. Perang tersebut dimulai setelah Umar Saad memanggil budaknya Duraid yang membawa panji perang ke arah depan. Setelah itu pelepasan anak panah ke arah pasukan Kufah dan dibalas dengan melepaskan anak panah berkelanjutan terjadilah aksi serang yang membabibuta
Peristiwa Tragedi Karbala
Dalam aksi perang tersebut Syimr din Dzil paling bersemangat memerangi Imam Husein, bahkan Ia ingin membunuh para wanita dan kemah Imam Husein di hadapannya. Dari peperangan tersebut banyak orang yang terbunuh yang memicu serangan ke segala penjuru dari pasukan Kufah. Ketika serangan penjuru berlangsung pasukan Imam Husein terbagi tiga dan empat kelompok dan mereka terus bertempur melindungi Imam Husein dan tenda dari serangan serta jarahan musuh. Mereka membunuh dan menangkis penyerang dengan pedang atau anak panah membuat serangan pasukan Umar bin Sa’ad gagal .
Dari kegagalan ini anak Umar bin Sa’ad justru provokask ke pasukan Kufah yang lain merusak tenda-tenda milik Imam Husein dari segala penjuru. Kesempatan itulah Symr dan pengikutnya menyerang kemah dari belakang. Saat itu dengan gesitnya Zuhair bin Qain dengan 10 penolong Imam Husein menghalau serangan tersebut membuat mereka melarikan diri hingga perang berlanjut siang hari. Pertempuran tersebut banyak penolong Imam Husein mulai dari Abdullah bin Umair, Muslim bin Ausajah hingga Bukair bin Hay Tamimi. Disebutkan pula lebih dari 50 orang gugur sebagai syahid.
Perang sengit terus berlanjut sampai sore hari yang membuat Imam Husein terluka. Imam melihat sekelilingnya para sahabatnya banyak yang meninggal dunia dengan badan bercerai berai. Di sore hari perang masih berlanjut, meski sekujur tubuhnya luka parah tidak membuatnya putus asa melanjutkan perang menyerang barisan musuh dan 30 orang tersebut berhasil dikalahkan. Usai berperang Ia kembali ke kemah perempuan mengajak mereka bersabar dan menghampiri tempat pembaringan Imam Sajjad.
Ketika tengah sibuk berpamitan penghuni kemah datanglah tiba-tiba pasukan Kufah pimpinan Umar bin Sa’ad, menyerang kemah dengan serangan anak panah bertubi-tubi menembus kain tenda membuat ketakutan yang luarbiasa penghuninya. Sejak itulah Imam Husein menyerang balik barisan musuh, lalu apa yang terjadi Imam dibawa pasukan musuh ditempat yang terpisah. Sekujur tubuh Imam Husein diserang anak panah oleh pasukan pimpinan Symr.
Badan Imam Husein yang dihujani anak panah membuat seluruh badannya sangat lemah. Tidak sampai disitu, dahinya dihantam sebuah batu besar dan dahinya mengalir darah segar. Tiga anak panah melesat tepat dijantung Imam dan lebih mengerikan lagi kepala Imam oleh seorang laki-laki bernama Malik bin Nusair di belah dengan pedang sampai kepala Imam Husein terbelah. Belum kering darah segar akibat pedang melukai kepala. Tiba-tiba serangan pedang bertubi-tubi menghantam tubuhnya dari pundaknya sebelah kiri dilakukan Syuraik Tamimi, kemudian serangan anak panah pada leher oleh Sinan bin Anas. Dan akhirnya tubuh Imam Husein jatuh tersungkur setelah Wahab Ju’fi menusukan tombaknya ke pinggang Husein.
Saat Imam terkepung pasukan Kufah, dan melewati saat akhir kehidupannya. Datanglah seorang anak yang berada dikemah bernama Abdullah bin Hasan berusaha menolong Husein dengan menangkis pedang yang diarahkan ke Husein dengan tangan mungilnya. Apa yang terjadi tangan mungilnya terpotong sabetan pedang. Setelah kejadian itu malah datanglah Symr beserta sejumlah pasukan Umar bin Sa’ad untuk menyerang Husein habis-habisan, tetapi mereka menolaknya.
Symr tidak kehabisan akal, maka diperintahlah Khuli bin Yazid untuk memenggal kepala Husein. Apa lagi yang terjadi tangan dan tubuhnya tiba-tiba gemetar hingga jatuh tersungkur. Setelah anak buahnya gagal memenggal kepala Husein, menurut catatan sejarah Symr dengan sadisnya memenggal kepala Husein dan memberikan kepada Khuli. Dari riwayat sejarah disebutkan terdapat 33 luka tebasan pedang dan 34 luka akibat tombak.
Tragis memang tubuh Husein penuh luka tebasan pedang dan tombak dilucuti baju dan barang-barang yang dikenakan Husein hingga Ia dibiarkan telanjang. Belum akhir jenazah Husein yang dibiarkan telanjang, jenazah itu dibiarkan diinjak-injak kuda. Tidak hanya nasib tragis menimpa Husein, 72 pemuda Bani Hasyim juga dipenggal kepalanya atas perintah Umar bin Sa’ad. Begitu mengerikan jenazah Husein, 72 pemuda Bani Hasyim. karena kepalanya terpisah dari tubuhnya, kemudian kepala-kepala suci di kirim ke Kufah.
Pasca Tragedi Karbala
Pasca Tragedi Karbala terjadi penjarahan kemah pasukan musuh asyik melakukan penjarahan pakaian, kuda, unta, perhiasan, hingga peralatan perang. Mereka berlomba- lomba menjarah apapun yang ada di dalam kemah Imam Husein. Sebagian yang selamat dari tragedi Karbala seperti Dhahak bin Abdullah dan Abdur Rahman melarikan diri dari tempat kejadian. Sementara Marga bin Tamamah Asadi diasingkan oleh Yazid bin Muawiyah, dan Aqabah bin Sam’an isteri Imam Husein dibebaskan, karena Ia seorang budak.
Penguburan Para Syuhada Karbala
Setelah peristiwa pembantaian berlalu akhirnya jasad para syuhada Karbala dikuburkan, tetapi dalam perjalanan sejarahnya terjadi perbedaan pendapat tentang kapan penguburan itu dilakukan. Ada yang menyebut hari ke-11 setelah Umar bin Sa’ad keluar dari Karbala. Sebagian yang lain berkeyakinan penguburan tersebut terjadi hari ke-13. Ulama dan sejarawan Ahlisunah berkeyakinan acara penguburan itu dilakukan 11 Muharam 61 Hijriyah.
Konon kabarnya, Umar bin Sa’ad hanya menguburkan jasad-jasad pasukannya yang berjumlah 88. Dan membiarkan jasad-jasad para Syuhada tetap berada di atas tanah. Usai kepergian Sa’ad berdasar beberapa pendapat menyebut sejumlah kelompok dari Bani Asad yang tempat tinggalnya berada dekat Karbala datang ke medan pertempuran. Mereka datang mendapati tubuh tanpa kepala milik Imam Husein beserta pengikutnya tergeletak di tanah.
Selanjutnya mereka menshalati dan menguburkannya ketika malam telah tiba dan setelah merasa aman dari musuh. Kuburan Imam Husein dikenal pusara Imam Husein dan Ali Asghar berada di bawah kaki kanan ayahnya Ali bin Abi Thalib. Pusara lain yang terletak di atas kepala Imam Husein yang sekarang dikenal pusara Habib bin Mazhahir.
Kisah Kepala Imam Husein Dirawat oleh Pendeta Nasrani
Dikisahkan dalam buku berjudul Jejak-jejak Keturunan Muhammad di Aleppo yang ditulis Syeikh Ibrahim Nasralla, menyebutkan setelah trategi Karbala rombongan Imam Ali Zainal yang datang dari Kufah sempat singgah, berhenti di kota Aleppo beristirahat sejenak. Saat itu beristirahat dekat biara kemudian diceritakan para pendeta dan biara melihat cahaya terang keluar dari kepala Imam Husein yang diarak oleh tentara Yazid tahun 61 H.
Para pendeta dan biara mengetahui para tawanan itu keluarga Nabi kemudian salah seorang biarawan bertanya,” Kepala-kepala siapakah ini.”Pertanyaan tersebut dijawab dengan menjelaskan,”ini kepala cucu Nabi, keluarga dan pengikutnya”. Mendengar jawaban tersebut seorang biarawan mengatakan ,” Celakalah kalian karena telah memperlakukan keturunan Nabi seburuk ini”! . Seorang biarawan berkata lagi,” Aku akan pinjam kepala cucu Nabi itu biar dengan membayar tinggi sekalipun.”
Ternyata rayuan biara tersebut mampu meluluhkan hati tentara dengan uang yang ditawarkan oleh kepala biara itu yang begiti banyak. Tak lama kemudian mereka para tentara Yazid menyerahkan kepala Imam Husein untuk bermalam di biara. Usai menerima kepala Imam Husein, seorang pendeta meletakannya di atas batu dan dicuci setelah itu disisir rambutnya diberi minyak wangi. Usai dibersihkan akhirnya dikembalikan kepada tentara Yazid. Menariknya setelah mencuci kepala Imam Husein konon kabarnys pendeta tersebut langsung memeluk Islam
Penguburan Kepala Imam Husein bin Ali
Kepala Imam Husein bin Ali diarak berbagai kota mulai kota Kufah, Aleppo, Asqalan, Mesir hingga kota Suriah kehadapan Yazid bin Muawiyah bersama syuhada lainnya. Ketika kepala berada ditangan Atikah, anak perempuan Yazid yang juga isteri Abdul Malik bin Mawar. Ia merawatnya dengan baik mencuci rambut kepala dan memberi mewangian. Setelah itu, kepala tersebut dikafani dan dikuburkan di samping pusara Sayidah Fatimah Zahra, pekuburan Baqi, Madinah. Tidak lama kepala Imam tersebut dibongkar dan dikuburkan di samping badan suci Imam Husein bin Ali.